Senin, 28 November 2016

Contoh Soal dan Jawaban: Menentukan Unsur Intrinsik dalam Cerpen "Mbok Sutiyah"

Berikut ini adalah contoh soal menentukan unsur intriksik cepen. Yaitu unsur intrinsik dalam cerpen "Mbok Sutiyah" karya Marya R. Sarjono.

Lihat juga:
Bacalah cerpen berikut!

Mbok Sutiyah

Terpaksalah Mbok Sutiyah mengeluhkan perasaannya kepada Nining sendiri.

“kapan sekolahmu selesai, Nduk! Aku tak melihat apa gunaya sekolah terlalu lama seperti yang kau jalani itu!” katanya di antara keluhan- keluhanya.

“hanya tinggal beberapa bulan lagi, Mbok. Selesai ujian SMA, tamatlah sekolahku,” jawab Nining.

“Dan kau akan membantuku sepenuhnya dalam mengurus rumah tangga majikan kita itu. Aku senang sekali ! “ ucap Mbok Sutiyah demo mendengar anaknya tidak lama lagi menyelesaikan sekolahnya. Nining diam saja, tak sepintas pun Mbok Sutiyah tahu bahwa saat itu sang anak sedang bertarung dalam hatinya. Iya memeng mersakan adanya kebaikan dalam pengetahuan- pengetahuan yang pernah di ajarkan si Mboknya.dari sesama asal daerah,ia yang palingmahir berbahasa Jawa secara fasih dan beriar pemakaianya. Di antara kawan-kawanya sesuku, ialah yang paling tahu adat-istiadat suku Jawa. Tetapi ajaran yang lain simboknya bahwa mengabdi kepada bangsawan tinggi secara menyeluruh, amat betentangan dengan jiwanya yang bebas. Ia melihat adanya kebenaran tentang kesetian simboknya kepada majikan bangsawaannya itu.

Si mboknya telah banyak berutang budi. Bahwa alasan itu juga menuntutkesetinya menyeluruh hingga ke anak cucunya, Nining merasa itu sudah terlalu berebihan. Lebih dari itu, sebagai lulusan sekolah menengah atas, rasanya kurang pantas kalau ia akhirnya hanya berfrofesi sebagai abdi yang di Jakarta itu di sebut babu.

“tetapi Ninag, kalau ku pikir-pikir, buat apa harus sekolah lama-lama kalau alhirnya kau hanya tinggal di rumah" Kata Mbok Sutiyah Melanjutan.

Pikirannya yang sederhana memunculkan lagi kata-kata baru.

“kalau tahu begitu, aku dulu mengatakan ketika ketidaksetujuanku ketika Ndoro menyarankan terus sekolah walaupun saat itu kau sudah bisa membaca dan menulis”

Lagi-lagi Nining diam saja,. Namun ia membirkan pikiranya terus bergejolak. Sulit untuk menerangkan bahwa di sekolah bukan hanya di ajarkan menulis dan membaca saja. Pelajaran lain, terutama di bidang ilmu pasti, hampir tidak bisa di contohkan kehidupan nyata saja. Bagaiman mau menerangkan ilmu aljabar atuau ilmu kimia kepada si Mbokya kalau yang di kethui perempuan itu hanya bagaimana menggumpal segsnggam dedaunan sebagai ukuran membuat jamu tolak angin bagi Raden Ayu Suryokusumo?

Nining,betapa pun ia seorang gadis yang di besarkan d alam kemerdekaan yang sesuasananya dari masa kecil simboknya, tetap saja seorang perempuan yang tahu diri sebagaimana banyanya terdapat pada diri rakyat jelata yang bekerja di rumah-rumah joglo masa lalu. Iya harus pasrah terhadap keputusan atasan, seperti yang sudah terlanjur tertanam dalam sanubarinya. Apakah nantu ia memang harus membantu-bantu si Mboknya bekerja atau harus bekerja di luar rumah, tidak membuatnya begitu pusing.

Tetapi tatkala raden mas Suryokusumo menawarkan sesuatu yang sama sekali tak di sangkanya mulut tak tahan untuk tidak mengeluarkan isi hatinya.

“Ndoro, kalau saya harus kuliah di Universitas, saya akan semakin jauh melangkah ke dunia luar, terutama dunia di lingkup kehidupan simbok. Untuk apa saya belajar tinggi-tinggi kalau pada suatu saat saya kembali ketempat semula?” tanyanya.

Raden mas Suryokusumo mengerti benar jalan pikiran gadis muda itu, dia tersenyum menenangkan.

“Ubahlah citra tentang arti, nilai dan juga tujuan hidupmu itu. Kau adalah salah satu dari bagian masyarakat Indonesia. Kau sudah mengenyam pendidikan yang cukup. Sekarang aku tawarjkan untuk pendidikan yang lebih lanjut karena aku tahu kau punya otak yang cerdas. Nah, apakah orientasimu mengenal tujuan hidupmu nanti tetap sama seperti apa yang ada di dalam pikiran simbokmu! Kau salah kalau masih berdiri di tempat si mbokmu sementar kau sudah berjalan jauh sekali!

Maka sekali lagi, Ninig jalani kehidupan sebagai mahasiswi. Mbok Sutiyah hanya mampu menggelengkan kepalanya berulang-ulang, menyesali kenyataan yang terpampang di hadapanya. Sama sekali ia tidak dapat memehami untuk apa gadisnya harus sekolah lagi 5 tahun. Rasanya semua itu hanya membuang-buang waktu belaka.

Tatkala akhirnya Nining menyelesaikan kuliahnya dan ia termasuk undangan menyasikan Nining diwisuda sebagai sarjana psikologi, ad yang perlahan-lahan membuka jalan pikiranya. Di sana, ia melihat berbagai orang yang berpangkat duduk menyasikan hari wisud anak-anak mereka. Sama seperti yang sedang dialaminya.

Sebulan kemudian ketika Nining mendapat pekerjaan yang ia tidak dapat memahaminya, tetapi yang ia ketahui bahwa di tempat itu anaknya di hormati orang, ia merasa terkejut. Lebih terkejut dari pada ketika ia menyaksikan dirinya berada di antara orang-orang berpangkat pada hari wisuda beberapa bulan lalu. Ia terlalu lugu untuk mengerti bahwa apa yang pernah di cita-citakan bagi anaknya selama 25 tahun ini hampir tidak ada artinya di banding kenyataan yang di lihatnya sekarang terjadi pada diri Nining. Memeng tahu bahwa kenyataan itu terlalau penuh porsinya, terutama bagi anak yang bersal dari desa.

Tetapi apa yang di terima Nining sekarang ini bagi orang-orang yang bukan abdi, orang jauh lebih kaya bahkan seorang yang berpangkatpun masih belum banyak terjadi ia tak tahu. Yah, ia tidak tahu dan mungkin tidak pernah tahu untuk menjadi seorang sarjana bukan sja di parlukan biaya, kesempatan, kemauan, melainkan juga kecerdasan otak. Bahwa Nining tekah berhasil. Mbok Sutiyah hanya mersa bahwa itu sesuatu yang hebat. Hanya itu. Sama separti orang buta yang mendengar kehebatan seorang astronot menginjak bulan. Suatu hal yang tidak begitu mengherankan karena di bumi tanah air kita ini, yang tinggal jauh di pelosok, masih banyak Mbok Sutiyah yang lain!


Contoh Soal dan Jawaban
Tentukan unsur intrinsik dalam cerpen “Mbok Sutiyah” dengan menjawab pertanyaan berikut ini!

1. Apakah tema cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Tema cerpen cerpen “Mbok Sutiyah” adalah pendidikan dapat mengubah pandangan hidup seseorang.

2. Siapa saja tokoh yang diceritakan dalam cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Tokoh yang diceritakan dalam cerpen “Mbok Sutiyah” adalah Mbok Sutiyah, Nining, dan Raden Mas Suryokusumo.

3. Bagaimana sifat tokoh yang diceritakan dalam cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Mbok Sutiyah memiliki sifat sederhana dan setia. Sifat Mbok Sutiyah yang sederhana dapat dilihat dari pola pikirnya yang sederhana. Sifat Mbok Sutiyah yang setia dapat dilihat dari sikap dan perbuatannya yang setia mengabdi pada bangsawan Raden Mas Suryokusumo.

Nining merupakan seorang pemudi yang memiliki pandangan modern, cerdas, dan patuh terhadap nasihat ibunya. Watak Nining yang memiliki pandang modern dapat diketahui dari pandangannya yang menyatakan bahwa pendangan si mboknya untuk mengabdi kepada bangsawan bertentangan dengan jiwanya yang bebas. Watak Nining yang memiliki pandangan modern juga dapat dilihat dengan perbuatan Nining pada akhirnya menerima tawaran Raden Mas Suryokusumo untuk kuliah. Watak Nining yang cerdas dapat dilihat dari keberhasilan Nining dalam menyelesaikan studinya. Watak Nining yang patuh dapat dilihat dari perbuatannya menurut nasihat Mbok Sutiyah, meskipun akhirnya Nining memutuskan untuk kuliah.

Raden Mas Suryokusumo memiliki watak baik hati dan dermawan. Watak Raden Mas Suryokusumo yang baik hati dapat dilihat dari perbuatannya yang menolong Mbok Sutiyah dan membiayai Nining sekolah sampai perguruan tinggi.

4. Bagaimana latar yang terdapat dalam cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Latar tempat dan waktu tidak dicantumkan secara pasti oleh penulis cerpen. latar yang tampak dalam cerpen adalah latar sosial. Latar sosial yang tampak adalah perbedaan status sosial tokoh dalam cerpen.

5. Apa pesan yang terdapat dalam cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Pesan yang terdapat dalam cerpen “Mbok Sutiyah” sebagai berikut:

  • Raihlah pendidikan setinggi mungkin karena ilmu pengetahuan dapat mengubah pandangan hidup dan meningkatkan derajat dan martabat manusia.
  • Berusahalah keras untuk mewujudkan tujuan hidup kita meskipun banyak rintangan dan masalah.
  • Hargailah pandangan hidup yang berbeda dengan pandangan hidup kita.



Sumber: Buku PG bahasa Indonesia kelas IX

Kamis, 24 November 2016

Contoh Soal Menemukan Unsur Instrinsik dalam Kutipan Cerpen "Pengemis dan Salawat Badar"

Berikut ini adalah Contoh Soal Menemukan Unsur Instrinsik dalam Kutipan Cerpen "Pengemis dan Salawat Badar" karya Ahmad Tohari.

Lihat juga:

Bacalah kutipan cerpen "Pengemis dan Salawat Badar" berikut!

Pengemis dan Salawat Badar

Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan kipas koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk.

Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah membajing loncat ketika bus masih berada di mulut termi­nal. Bus menjadi pasar yang sangat hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bisa mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau berbelanja. Seorang di antara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia-manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit.

Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penum­pang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah.

Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di belakangku itu.

Contoh Soal 
1. Sebutkan tokoh dalam kutipan cerpen tersebut!
Jawab: Aku, sopir bus, pedagang asongan

2. Bagaimanakah sifat tokoh dalam cerpen tersebut?
Jawab: aku bersifat bijaksana, sopir bus: egois, tak peduli pada penumpang.

3. Di manakah latar cerpen tersebut?
Jawab: Di terminal Cirebon pada siang hari.

4. Apakah tema cerpen tersebut?
Jawab: Keagamaan.

5. Menggunakan sudut pandang ke berapakah cerpen tersebut?
Jawab: sudut pandang orang I tunggal.

6. Tentukan amanat yang terkandung dalam kutipan cerpen tersebut!
Jawab: ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Maka, hendaknya kita selalu mencoba berdamai dengan keadaan supaya raga dan jiwa tidak tersiksa.


Kamis, 17 November 2016

Menemukan Tema, Latar, dan Penokohan dalam Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni"

Menemukan Tema, Latar, dan Penokohan Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni" 

Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni" merupakan salah satu cerpen karya Adji Subela dalam buku kumpulan cerpen "Pengantin Agung." Cerpen ini juga pernah terbit di majalah Idola No. 55, 1989.

Lihat juga:
Hadiah Lebaran untuk Marni

Hari Raya Lebaran sebentar lagi tiba. Orang-orang sudah bersiap-siap meyambutnya. Mereka sudah membuat kue-kue untuk menjamu tamu mereka di Hari Raya Lebaran nanti. Kanak-kanak pun mulai bersiap-siap untuk bergembira di hari bahagia itu, hari kemenangan bagi kaum muslim. Mereka sudah mereka-reka baju barunya. Mereka menuntut orang tuanya untuk membelikan mereka baju yang indah-indah, tak kalah dengan teman-temannya yang lain.

Bukankah hari raya itu hari yang amat mereka tunggu-tunggu? Hari kemenangan? Setelah berpuasa sebulan lamanya?

Hari-hari gembira itu membuat Salamah sedih hatinya. Anak satu-satunya, Marni, tiada dapat gembira seperti teman-temanya yang lain. Marni tak punya baju baru. Tak punya sepatu baru. Dan makanan pun tak akan ada di rumah mereka di hari bahagia itu, di hari kemenangan kaum muslim setelah sebulan berpuasa. Tak ada uang buat membeli barang-barang itu.

Anak-anak akan gembira, karena kembang api, karena mercun, karena bunga. Mereka akan bersuka-ria karena makanan. Kue-kue yang lezat, dan harum. Alangkah bahagia mereka. tapi Marni? Ia akan menontonnya saja.

Salamah tak bisa berbuat apa-apa. Kaki kirinya kini sudah setengan lumpuh. Ia tidak akan selincah dulu lagi untuk menggendong barang-barang di pasar. Kini kuli penggendong barang-barang di pasar bertambah banyak. Muda-muda, jadi lebih kuat dan lebih tangkas. Salamah kini sudah tua, dan dengan kaki kiri setengah lumpuh. Ia tak akan selincah mereka.

Kemarin ia menggendong terigu setengah karung milik nyonya notaris. Hanya setengah karung! Seharusnya barang itu lebih cepat sampai ke mobil nyonya itu. Tapi kaki kirinya setengah lumpuh, dan terigu setengah karung tidaklah seringan dahulu lagi. Nafasnya tinggal satu persatu. Alangkah beratnya.

Dan ia menggendong terus dan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yang tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dan kaki kirinya setengah lumpuh. Alangkah sengsaranya orang seperti dia hendak mendapatkan dua ratus rupiah. Hanya dua ratus dan dia harus berjalan tersendat-sendat dan nafas tersengal-sengal. Untuk dua ratus perak, yang tak kenyang untuk berbuka puasa petang hari nanti.

Nyonya notaris sudah kesal menunggu Salamah di dekat mobilnya.

“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.

“Maaf, Nya,” jawab Salamah dengan tersengal-sengal. Peluhnya bercucuran membasahi badan. Alangkah beratnya terigu ini. Terigu yang nanti akan diolah oleh ibu notaris itu jadi kue-kue lezat. Salamah yang menggendong terigunya, dengan tersengal-sengal nafasnya, tak akan ikut menikmatinya.

“Ayuh. Taruh di bagasi belakang. seperti keong jalanmu. Kau malas begitu tak usahlah kau bekerja. Pekerjaan apaan. Aku bisa pilih yang muda-muda.”

Salamah diam tak menjawab. Ia menyadari kekurangannya. Mereka, kuli gendong itu, jauh lebih muda darinya. Lebih kuat dan tentunya lebih banyak uang yang didapatnya. Uang dua ratus diterimanya dari nyonya notaris itu, dan disimpannya di setagen. Alangkah budimannya nyonya itu. Upahnya tidak dipotong, walau ia datang agak lambat. Alangkah budimannya keluarga itu. Mereka masih memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan dua ratus rupiah. Walau jalannya lambat, terengah-engah dan begitu sengsara, kalau tak ada pemberian nyonya itu, mungkin ia akan kelaparan, tak bisa berbuka puasa dengan anaknya, Marni.

Salamah lalu berjalan menepi di emperan toko. Dia duduk kelelahan. Puasanya hari itu begitu berat. Dia dan Marni tak makan apa pun untuk sahur. Hanya minum air putih dari ledeng umum. Tak ada uang di setagennya lagi. Marni juga tidak.

Ya, Allah, ya, Tuhanku. Alangkah kasihannya anak itu, desis Salamah. Anak kecil dia harus menderita begitu berat. Sedangkan dia, yang sudah setua itu pun, hampir tak tahan lagi menerima kesengsaraan seperti ini. Satu-satunya tenaga hidup yang ia punya adalah Marni seorang. Anak semata wayang inilah yang membuat ia harus bertahan hidup. Marni harus makan. Marni harus kuat agar kelak, jika jadi buruh gendong, tidaklah selemah dia. Agar jangan kaki kirinya setengah lumpuh seperti dia.

Salamah berhenti melamun. Di kejauhan dilihatnya anaknya berjalan miring-miring. Tentunya anak itu sudah lemah sekali. Kemarin ia hanya berbuka puasa dengan sepotong ubi rebus dan air putih, mentah. Pagi tadi ia tidak sahur apa-apa, kembali hanya meminum air putih, air ledeng. Tentunya badannya lemah sekali. Salamah tak pedulikan dirinya. Dia dulu pernah minum susu milk kalengan. Enak sekali. ketika itu kakek Marni masih menjabat sebagai lurah di sebuah desa. Lurah yang kaya, banyak sawah dan ladang.

Lepas maghrib nanti, mereka akan berbuka puasa. Berdua. Dua ratus rupiah, hasil pagi tadi, akan mendapat empat potong ubi rebus. Tapi kali ini Salamah akan membelanjakan uang hasil jerih payahnya hanya seratus rupiah, jadi mendapatkan dua potong ubi rebus. Seratus rupiahnya lagi akan disimpannya di setagennya. Sepotong ubi rebus akan diberikannya kepada Marni dan ditambah lagi separuh, sedangkan  ia cukup separuh sisanya saja. Lalu keduanya akan bersama-sama minum air ledeng banyak-banyak. Kalau nasip lebih beruntung, selasai salat maghrib mereka akan mendapat makanan di mesjid. Tapi keduanya terlalu lemah untuk berebut. Mereka akan kalah dengan orang-orang yang kuat. Maklum, nakanan hanya sedikit tersedia di mesjid. Sedangkan orang yang bersembahyang begitu banyak. Dan nampaknya air ledeng amat menolongnya, kendati perut jadi kembung dan terasa hendak muntah.

“Emak, berapa lama lagi bedug maghrib berbunyi?” tanya Marni sambil mendekat padanya dan kemudian duduk menyandarkan kepalanya di punggung Salamah. Angin sore itu bertiup kencang, menghempas-hempas rumbia gubugnya di bawah jembatan.

“Sebentar Nak, sebentar lagi. Lihat, langit sudah mulai memerah. Itu pertanda matahai mau tenggelam dan maghrib tiba. Kau sudah mulai lapar?”
“Tidak Mak, tapi badan Marni lemas sekali. Kenapa Mak?”

“Enggak apa-apa. Sebentar lagi bedug berbunyi.”

“Mak, lihat! Langit mulai merah. Kenapa bedug belum berbunyi?” seru Marni dengan riangnya.

Salamah tersenyum, lemah sekali.

“Mak, ayah mungkin ada di langit sana ya Mak?” tanya gadis cilik, buah hati satu-satunya itu.

“Mungkin, Nak, mungkin,” jawab Salamah.

Marni lalu diam. Matanya yang bulat bening itu berkilat-kilat menatap langit. Ia mengira ayahnya ada di sana, di atas awan, menari-nari dan melemparkan hadiah Lebaran untuknya. Emaknya belum juga memberinya hadiah lebaran.

“Mak, Saijah tadi diberi hadiah emaknya. Baju bagus sekali,  Mak. Ada bunga di dadanya. Merah. Dua. Di sini Mak, lihatlah...” ujar Marni sambil berdiri dan memegang dadanya.

“Kalau Husin dapat sepatu, Mak. Sepatu tinggi segini, Mak...,” ujarnya lagi sambil memegang mata kakinya.

Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut. Takut mengundang amarahnya. Tapi tidak sayangku, bisik Salamah dalam hati. Kau terlalu baik anakku. Kau tidak melawan jika aku tidak memberimu uang....  Kau tidak minta apa-apa karena kau tahu betul betapa ibumu ini melarat. Melarat sekali. Kau tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Anakku, ini yang membuat aku begitu terenyuh kepadamu. Kau begitu tabah menghadapi hidup kita yang sengsara ini, Marni....

Salamah tak kuasa membendung tangisnya. Ia pelan-pelan bangkit, lalu merebahkan badannya ke tikar. Ya Allah, biarkan aku menangis. Biarkan aku mati asalkan Marni, si anak manis itu mendapatkan RahmatMu ya Tuhan...

Marni, bagaimana pun perlu punya sesuatu yang baru untuk lebaran nanti. Ia tak boleh kecewa. Ia tak boleh bersedih hati. Hari Lebaran adalah hari kemengan umat Islam. Marni tak boleh bersedih hati. Ia harus mendapatkan sesuatu. Lebaran kurang tiga hari lagi.

Marni amat ketakutan melihat emaknya menangis.

“Mak, Emak.....,” hanya itu ucapan yang keluar dari mulutnya yang mungil. Ia tak tahu kenapa emaknya menangis.

***
ESOKNYA Salamat tertatih-tatih membawa Marni ke pasar. Badan Salamah lesu sekali rasanya pagi ini. Pagi tadi tidak makan sahur, sama seperti biasanya, hanya air putih dari ledeng umum. Dan semalam Marni mendapat sepotong ubi rebus ditambah setengah potong tambahan. Masih ada uang sisa di setagennya. Marni harus mendapatkan sesuatu untuk hari raya lusa. Marni harus mendapatkan sesuatu, pikir Salamah.

Di trotoar orang ramai berdagang. Ada baju baru-baru. Ada sepatu baru-baru. Ada makanan kaleng yang tentunya lezat-lezat rasanya. Marni cuma melihat barang-barang itu. Ia menikmatinya hanya dengan memandang. Ia tak berani meminta kepada emaknya. Ia takut. Emak tak punya uang. Tapi ia ingin sekali mendapatkan sepatu seperti Husin. Atau gaun yang berbunga-bungan di dadanya. Tapi ia takut.

Salamah sudah tahu-diri benar. Harga barang-barang itu mahal sekali. Ia tak akan mampu membelinya. Tapi Marni harus mendapatkan sesutu untuk Lebaran.

Di ujung trotoar itu ada pedagang barang-barang loak. Ia menjual baju-baju bekas, kebaya bekas, dan masih banyak lagi yang lain. Ke sanalah Salamah dan anaknya pergi. Namun hatinya amat sedih. Rok kecil bekas, harganya seribu rupiah. Sepatu bekas, harganya dua ribu rupiah. Apa yang harus diberikannya kepada anaknya yang manis ini?

Ia cuma berdiri terpaku di depan tukang loak itu. Dilihatnya di keranjang tukang loak itu sepasang sandal jepit kecil yang sudah bekas pula. Nampaknya hanya ini yang bisa dibelinya.

Lalu dengan keberanian yang luar biasa, ditanyakannya berapa harga sandal jepit bekas itu.

“Dua ratus rupiah,” jawab tukang loak dengan acuh tak acuh.

Hatinya semakin teriris. Sedangkan Marni memandang sandal itu dengan mata berkilat-kilat. Alangkah sedihnya hati Salamah.

“Seratus rupiah, Bang,” tawarnya.

Tukang loak itu tak menjawab, cuma menggelengkan kepalanya. Congkaknya orang itu. Salamah tak segera beranjak dari tempatnya. Ia kini amat menyesal, kenapa pagi ini tidak mencari barang untuk digendongnya. Ia akan mendapat dua ratus lagi. Tapi badannya memang lemas pagi ini. Tak mungkin ia mengangkat yang lebih berat dari terigu setengah karung. Maka paling-paling seratus rupiah yang didapatnya. Tapi seratus rupiah amatlah lumayan. Dengan uang seratus lagi di setagennya, berarti dua ratus rupiah terkumpul dan cukup buat membeli sandal jepit bekat itu.

Marni sudah ingin mendapatkan sandal bekas itu. Ketika Salamah menariknya untuk pergi, Marni menangis. Amat pilu tangisan anak perempua itu! Hati salamah semakin hancur luluh.

Baru kali ini Marni menangis untuk sepasang sandal. Sandal yang sudah bekas pakai. Ia anak yang manis, yang tak pernah meminta sesuatu pada emaknya. Oh, Tuhan! Tangis Marni begitu memilukan. Dan tukang loak itu begitu terpaku melihat adegan di depannya. Dan tiba-tiba sinar kasih Allah muncul di sanubarinya.

“Baiklah, seratus rupiah,” katanya kemudian.

O, alangkah girangnya Marni mendapatkan sandal baru untuk berlebaran. Sandal kecil bekas pakai. Barang itu lalu dibungkus dan diserahkan kepada Marni. Lihatlah betapa gembiranya gadis cilik itu. dipeluknya bungkusan dengan erat, seakan takut barang itu lepas daripadanya.

Diciumnya dan ditimang-timangnya. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yang mungil.....

Hari Raya Lebaran tiba. Selesai bersembahyang Ied, orang ramai-ramai saling bertandang dan bersalam-salaman. Mereka makan dan minum dengan riangnya. Kue-kue lezat dihidangkan. Anak-anaknya memakai baju baru. Begitu indah. Suka cita mewarnai mereka.

Di bawah jembatan, di dalam gubug, seorang gadis kecil menunggui emaknya. Ia begitu girang dan bersuka cita pula. Sandal jepit kecil ditimang-timangnya. Amat sayang ia kepada sandalnya. Senandung-senandung kecil keluar keluar dari mulutnya yang mungil. Sandal pemberian emak tidak akan dipakainya. Sayang sekali, nanti rusak, pikirnya.

Di depannya, emaknya tergolek lemas. Badannya menderita sakit panas. Lambung bagian kanannya membengkak. Nampaknya sakit levernya kambuh lagi. sudah berhari-hari ia tak cukup makan, dan tenaganya terlalu banyak dikuras. Salamah, di hari lebaran itu hanya berbaring karena tak kuat lagi menegakkan tubuhnya. Marni yang manis, anak manis semata wayangnya, menungguinya, sementara takbir terdengar lamat-lamat... Allahu Akbar... Allah Akbar... Allahu Akbar...

Allah Maha Besar, bahkan untuk orang kecil.



Tema, Latar , dan Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Tema Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Secara umum tema yang terkandung dalam “Hadiah Lebaran untuk Marni”  adalah kisah kehidupan keluarga fakir yang bertahan hidup di bawah kolong-kolong jembatan di perkotaan.

Sedangkan secara khusus tema cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”  adalah kisah pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu (Salamah) yang ingin membahagiakan anaknya (Marni).


Latar Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Latar dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.

1. Latar tempat

Di pasar:
Dan ia menggendong terus dan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yang tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari.
Di bawah jembatan di dalam gubuk:
Di bawah jembatan, di dalam gubug, seorang gadis kecil menunggui emaknya. Ia begitu girang dan bersuka cita pula.
Di trotoar
Di trotoar orang ramai berdagang. Ada baju baru-baru. Ada sepatu baru-baru. Ada makanan kaleng yang tentunya lezat-lezat rasanya. Marni cuma melihat barang-barang itu.
2. Latar waktu 
Sore hari:
“Sebentar Nak, sebentar lagi. Lihat, langit sudah mulai memerah. Itu pertanda matahai mau tenggelam dan maghrib tiba. Kau sudah mulai lapar?”
Bulan puasa:
Lepas maghrib nanti, mereka akan berbuka puasa. Berdua. Dua ratus rupiah, hasil pagi tadi, akan mendapat empat potong ubi rebus.
Saat Lebaran:
Hari Raya Lebaran tiba. Selesai bersembahyang Ied, orang ramai-ramai saling bertandang dan bersalam-salaman.
3. Latar suasana
Latara suasana dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” terdiri atas latar suasana batin latar suasana keadaan.

Latar suasana batin
Girang, gembira:
O, alangkah girangnya Marni mendapatkan sandal baru untuk berlebaran. Sandal kecil bekas pakai. Barang itu lalu dibungkus dan diserahkan kepada Marni. Lihatlah betapa gembiranya gadis cilik itu. dipeluknya bungkusan dengan erat, seakan takut barang itu lepas daripadanya.
Diciumnya dan ditimang-timangnya. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yang mungil.....
Pedih, sedih:
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut.

Latar suasana keadaan
Ramai berdesakan:
Dan ia menggendong terus dan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yang tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dan kaki kirinya setengah lumpuh.
Tegang:
Nyonya notaris sudah kesal menunggu Salamah di dekat mobilnya. 
“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.

Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Tokoh-tokoh yang berperan dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” yakni: Marni, Salamah, Nyonya, dan Tukang Loak

1. Salamah: Dilihat dari segi fisik, tokoh salamah adalah seorang wanita tua yang kaki kirinya setengah lumpuh. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
Salamah tak bisa berbuat apa-apa. Kaki kirinya kini sudah setengan lumpuh. Ia tidak akan selincah dulu lagi untuk menggendong barang-barang di pasar. Kini kuli penggendong barang-barang di pasar bertambah banyak. Muda-muda, jadi lebih kuat dan lebih tangkas. Salamah kini sudah tua, dan dengan kaki kiri setengah lumpuh. Ia tak akan selincah mereka.
Sedangkan segi fsikis, terdapat beberapa karakter yang dimiliki oleh tokoh Salamah sebagai berikut.

Salamah adalah tokoh yang penuh pengorbanan, dan sangat menyayangi anaknya:
ESOKNYA Salamat tertatih-tatih membawa Marni ke pasar. Badan Salamah lesu sekali rasanya pagi ini. Pagi tadi tidak makan sahur, sama seperti biasanya, hanya air putih dari ledeng umum. Dan semalam Marni mendapat sepotong ubi rebus ditambah setengah potong tambahan. Masih ada uang sisa di setagennya. Marni harus mendapatkan sesuatu untuk hari raya lusa. Marni harus mendapatkan sesuatu, pikir Salamah.
Salamah adalah pekerja keras:
Dan ia menggendong terus dan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yang tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dan kaki kirinya setengah lumpuh. Alangkah sengsaranya orang seperti dia hendak mendapatkan dua ratus rupiah. Hanya dua ratus dan dia harus berjalan tersendat-sendat dan nafas tersengal-sengal. Untuk dua ratus perak, yang tak kenyang untuk berbuka puasa petang hari nanti.
2. Marni: adalah seorang anak kecil yang hidup bersama ibunya Marni. Terdapat beberapa karakter dari tokoh marni seperti berikut ini.
Marni adalah seorang tokoh yang baik, tabah dalam menghadapi ujian hidup
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut. Takut mengundang amarahnya. Tapi tidak sayangku, bisik Salamah dalam hati. Kau terlalu baik anakku. Kau tidak melawan jika aku tidak memberimu uang....  Kau tidak minta apa-apa karena kau tahu betul betapa ibumu ini melarat. Melarat sekali. Kau tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Anakku, ini yang membuat aku begitu terenyuh kepadamu. Kau begitu tabah menghadapi hidup kita yang sengsara ini, Marni....
Marni adalah seorang anak yang tidak pernah meminta sesuatu pada orang tuanya.
......................Ia anak yang manis, yang tak pernah meminta sesuatu pada emaknya. Oh, Tuhan! Tangis Marni begitu memilukan.
3. Nyonya Notaris
Nyonya Notaris adalah gambaran seorang tokoh yang berwatak keras dan kasar. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
 “Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.
.................................
 “Ayuh. Taruh di bagasi belakang. seperti keong jalanmu. Kau malas begitu tak usahlah kau bekerja. Pekerjaan apaan. Aku bisa pilih yang muda-muda.”
Budiman:
Di samping berwatak keras dan kasar, Nyonya Notaris bersifat budiman menurut ukuran orang miskin seperti Salamah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.
Alangkah budimannya nyonya itu. Upahnya tidak dipotong, walau ia datang agak lambat. Alangkah budimannya keluarga itu. Mereka masih memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan dua ratus rupiah. Walau jalannya lambat, terengah-engah dan begitu sengsara, kalau tak ada pemberian nyonya itu, mungkin ia akan kelaparan, tak bisa berbuka puasa dengan anaknya, Marni.
4. Tukang Loak
Tukang loak pada cerpen ini adalah seorang pedagang yang memiliki sifat acuh tak acuh, tidak peduli,  serta pelit.

Bukti kutipan:
Lalu dengan keberanian yang luar biasa, ditanyakannya berapa harga sandal jepit bekas itu.
“Dua ratus rupiah,” jawab tukang loak dengan acuh tak acuh.
Hatinya semakin teriris. Sedangkan Marni memandang sandal itu dengan mata berkilat-kilat. Alangkah sedihnya hati Salamah.
“Seratus rupiah, Bang,” tawarnya.
Tukang loak itu tak menjawab, cuma menggelengkan kepalanya. Congkaknya orang itu. Salamah tak segera beranjak dari tempatnya.

Rabu, 16 November 2016

Gaya Bahasa Depersonifikasi; Pengertian dan Contohnya

Pengertian Depersonifikasi

Depersonifikasi adalah majas yang berupa pembandingan manusia dengan bukan manusia atau dengan benda (misalnya: dikau langit, daku bumi). (KBBI).

Lihat juga: Ragam Gaya Bahasa; Pengertian dan Contohnya

Gaya bahasa depersonifikasi atau pembendaan adalah kebalikan dari gaya bahasa personifikasi atau penginsanan.

Apabila personifikasi menginsankan atau memanusiakan benda-benda, maka depersonifikasi justru membendakan manusia atau insan.

Biasanya depersonifikasi ini terdapat dalam kalimat pengandaian yang secara eksplisit memanfaatkan kata: kalau, jika, jakalau, bila (mana), sekiranya, misalkan, umpama, andai (kata), seandainya, andaikan.


Contoh Depersonifikasi

Kalau dikau menjadi samudra, maka daku menjadi bahtera.
Kalau dikau samudra, daku bahtera.

Andai kamu menjadi langit, maka dia menjadi tanah.
Andai kamu langit, dia tanah.

Bila kakanda mejadi darah, maka adinda menjadi daging.

Sekiranya suami menjadi ombak, maka isteri menjadi pantai.

Andai engkau malam, maka akulah siangnya.

Bila engkau adalah sendok, akulah garpunya.


Referensi:
Pengajaran Gaya Bahasa, Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan.

Selasa, 15 November 2016

Gaya Bahasa Pleonasme dan Tautologi; Pengertian Serta Contohnya

Pengertian Pleonasme dan Tautologi
Dalam KKBI versi daring ditemukan pengertian pleonasme dan tautologi. Pleonasme adalah pemakaian kata-kata yang lebih daripada apa yang diperlukan, misalnya dalam kalimat kita harus dan wajib saling menghormati. Sedangkan tautologi adalah pengulangan gagasan, pernyataan, atau kata yang berlebih dan tidak diperlukan, misalnya duda pria; amat sangat mahal.

Lihat juga: Ragam Gaya Bahasa; Pengertian dan Contohnya

Secara praktis Pleonasme dan Tautologi disamakan, namun ada yang ingin membedakan keduanya.

Menurut Poerwadarminta, Pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan), yang sebenarnya tidak perlu (seperti menurut sepanjang adat; saling tolong menolong).

Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, suatu acuan disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain (Gorys Keraf).

Contoh Pleonasme
Saya telah mencatat kejadian itu dengan tangan saya sendiri.

Dia telah menebus sawah itu dengan uang tabungannya sendiri.

Ayah telah menyaksikan kecelakaan tersebut dengan mata kepalanya sendiri.

Kamilah yang memikul peti jenazah itu di atas bahu kami sendiri.

Mereka mendengar fitnahan itu dengan telinga mereka sendiri.

Para petani menggarap sawah yang luas itu dengan tenaga dan keringat mereka sendiri.

Bangkai tikus yang busuk dan menjijikkan itu mencemarkan seluruh ruangan.

Penduduk desa Tumbuh Mulia saling tolong menolong setiap saat sepanjang waktu.
(H.G. Tarigan).

Ungkapan di atas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata:

dengan tangan sendiri

dengan uang tabungannya sendiri

dengan mata kepalanya sendiri

di atas bahu kami sendiri

dengan tenaga dan keringat mereka sendiri

yang busuk dan menjijikkan itu

saling; sepanjang waktu


Contoh Tautologi
Kami tiba di rumah jam 4.00 subuh.

Orang yang meninggal itu menutup mata buat selama-lamanya.

Anak-anak asyik menyepak bola yang bundar bentuknya itu.

Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu subuh sudah tercakup dalam jam 4.00, menutup mata buat selama-lamanya sudah tercakap dalam meninggal, bundar sudah tercakup dalam bola.

Senin, 14 November 2016

Ragam Gaya Bahasa; Pengertian dan Contohnya

Pengertian Gaya Bahasa
Berdasarkan buku “Diksi dan Gaya Bahasa” karangan Gorys Keraf terdapat batasan-batasan dan pengertian tentang gaya bahasa sebagai berikut:
  • Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin.
  • Secara umum gaya bahasa adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya.
  • Secara khusus style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Jadi, pengertian gaya bahasa yang lebih spesifik dapat kita  peroleh pada poin yang ketiga.

Sumber lain menerangkan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu (Dale [et al] dalam H.G. Tarigan).

Ragam  Gaya bahasa
Gaya bahasa terbagi ke dalam empat kelompok besar, yaitu gaya bahasa perbandingangaya bahasa pertautangaya bahasa pertentangan, dan gaya bahasa perulangan.

Berdasarkan pengelompokan tersebut, berikut ini macam-macam gaya bahasa yang terdapat pada buku “Pengajaran Gaya Bahasa” karangan Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan.

GAYA BAHASA PERBADINGAN
Perifrasis
Antisipasi atau Prolepsis
Koreksi atau Efanortosis

GAYA BAHASA PERTENTANGAN
Hiperbola
Litotes
Ironi
Oksimoron
Paranomasia
Paralepsis
Zeugma dan Silepsis
Satire
Inuendo
Antifrasis
Paradoks
Klimaks
Antiklimaks
Apostrof
Anostrof atau Inversi
Apofasis atau Preterisio
Histeron Proteron
Hipalase
Sinisme
Sarkasme

GAYA BAHASA PERTAUTAN
Metonimia
Sinekdoke
Alusi
Eufimisme
Eponim
Epitet
Antonomasia
Erotesis
Paralelisme
Elipsis
Gradasi
Asindeton
Polisindeton

GAYA BAHASA PERULANGAN
Aliterasi
Asonansi
Antanaklasis
Kiasmus
Epizeukis
Tautotes
Anafora
Epistrofa
Simploke
Mesodilopsis
Epanelepsis
Anadiplosis

Gaya Bahasa Antitesis; Pengertian dan Contohnya

Pengertian Antitesis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia (versi daring) ditemukan pengertian antitesis, yaitu:
  1. pertentangan yang benar-benar; 
  2. pengungkapan gagasan yang bertentangan dalam susunan kata yang sejajar, seperti dalam semboyan "Merdeka atau Mati".
Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan (Ducrot & Todorov dalam H.G Tarigan). Lihat juga: Ragam Gaya Bahasa; Pengertian dan Contohnya

Contoh Gaya Bahasa Antitesis
  • Dia bergembira-ria atas kegagalanku dalam ujian itu.
  • Pada saat kami berduka cita atas kematian paman, mereka menyambutnya dengan kegembiraan tiada tara.
  • Gadis yang secantik si Ida diperistri oleh si Dendi yang jelek itu.
  • Segala fitnahan tetangganya dibalas dengan budi bahasanya yang baik.
  • Di satu pihak orang tua itu gembira atas perkawinan putranya, tetapi di pihak lain mereka was-was akan masa depannya.
  • Kelulusan anak mereka dalam ujian itu sungguh menggembirakan, tetapi kesanggupan  mereka membiayainya di perguruan tinggi justru menyedihkan mereka.
  • Kecantikannya justru yang mencelakakannya.
(H.G. Tarigan, 2009: 26)

Jumat, 11 November 2016

Alegori, Fabel, Parabel: Pengertian dan Contohnya

Alegori, Fabel, Parabel: Pengertian dan Contohnya.

Alegori, fabel, dan parabel merupkan bentuk perluasan dari metafora. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya mengandung ajaran-ajaran moral dan sering sukar dibedakan satu dengan yang lain.

Untuk lebih jelasnya, marilah disimak (dibaca) pengertian dari alegori, fabel, dan parabel pada paparan berikut ini.

Lihat juga: Ragam Gaya Bahasa; Pengertian dan Contohnya

Pengertian Alegori
Alegori berasal dari bahasa Yunani allegorein yang berarti ‘berbicara secara kias’; diturunkann dari allos ‘yang lain' + agoreuein ‘berbicara’.

Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang; merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan (HG. Tarigan).

Menurut Gorys Keraf, alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditari dari bawah permukaan ceeritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.

Pengertian Fabel dan Parabel
Fabel dan parabel merupakan alegori-alegori singkat.

Fabel adalah sejenis alegori, yang di dalamnya binatang-binatang berbicara dan bertingah laku seperti manusia (H.G. Tarigan).

Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-bintang bahkan mahluk-mahluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. tujuan fabel seperti parabel ialah menyampaikan ajaran moral atau budi pekert. Fabel menyampaikan suatu prinsip tingah laku melalui analogi yang transparan dari tindak-tanduk binatang, tumbuh-tumbuhan, atau makhluk yang tak bernyawa (Gorys Keraf).

Sedangkan parabel (cerita yang berkaitan dengan Kitab Suci) juga merupakan alegori singkat yang mengandung pengajaran mengenai moral dan kebenaran. Parabel merupakan metafora yang diperluas (H.G. Tarigan).

Kata parabel berasal dari bahasa Latin parabola yang bermakna ‘parabel, pepatah, peribahasa’, yang sebenarnya diturunkan pula dari bahasa Yunani belein ‘melemparkan’ + para ‘di samping; membandingkan’. (H.G. Tarigan).

Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya  manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab  Suci yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual (Gorys Keraf).

Contoh Alegori, Fabel, dan Parabel
Contoh sajak yang mengandung alegori:

ULAR
Ular yang mendesis merisik, dengan warna kulit indah
mengejarku, bahkan sampai dalam mimpi.
Berhenti kataku. Dan dia menatap patuh, namun gelisah
Tiba-tiba kubaca: namamu terukir pada lidahnya
yang terjalur merah

(Ajip Rosidi)

Contoh cerita yang mengandung fabel

- Kancil dan buaya
- Kancil dengan kurakura
- Kancil dengan harimau
- Kancil dengan ular
- Kancil dengan burung gagak
- Kancil dengan petani

Contoh cerita yang mengandung parabel:
- Cerita Adam dan Hawa
- Cerita Yusuf
- Cerita Musa
- dll.

Contoh sajak yang mengandung pabel:

SERANGAN

Pohon-pohon cemara di kaki gunung
pohon-pohon cemara
menyerbu kampung-kampung
bulan di atasnya
menceburkan dirinya ke dalam kolam
membasuh luka-lukanya
aan selusin dua sejoli
mengajaknya tidur

(Adul Hadi WM)

Contoh sajak yang mengandung parabel:

PERAHU KERTAS

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kaulayarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.

“Ia akan singgah di Bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.

Akhirnya kaudengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya, “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah Banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit”

(Sapardi Djoko Damono)


DI KEBUN BINATANG

Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya, katanya kepada suaminya, “ Alangkah indahnya kulit ular
 itu untuk tas dan sepatu! “

Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat menarik lengan istrinya meninggalakan tempat terkutuk itu.

Rabu, 09 November 2016

Pengertian Majas Metafora dan Contohnya

Pengertian Metafora

Dalam buku Pengajaran Gaya Bahasa karangan Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan ditemukan asal usul kata metafora, bahwa metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti ‘memindahkan’; dari meta ‘di atas; melebihi’ + pherein ‘membawa’.

Lalu, Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan membuat pengertian, metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek; dan yang satu lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang belakangan itu menjadi yang terdahulu tadi.

Lihat juga: Ragam Gaya Bahasa; Pengertian dan Contohnya

Sementara pengertian metafora menurut beberapa ahli antar lain: Metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd).

Metafora ialah perbandingan yang implisit, jadi tanpa kata seperti atau sebagai di antara dua hal yang berbeda (Anton M. Moeliono).

Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Poerwadarminta).

Metafora yakni membuat perbandingan antara dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dengan penggunaan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, serupa, seperti pada perumpamaan (Dale dalam Tarigan, 2009: 15).

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Gorys Keraf).

Lanjut Keraf, metafora sebagai pembanding langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya sebenarnya sama dengan simile tetapi secara berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan, misalnya:

Pemuda adalah seperti bungan bangsa.
Pemuda adalah bunga bangsa.
Pemuda bunga bangsa.

Secara rinci, Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya “Pengkajian Puisi” menyatakan bahwa Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term). Term pokok disebut juga tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal yang untuk membandingkan. Misalnya ‘Bumi’ adalah permpuan jalang’: ‘Bumi’ adalah term pokok, sedangkan ‘perempuan jalang’ term kedua atau vehicle.

Jadi, berdasarakan beberapa pengertian di atas dapat disimpilkan bahwa majas metafora yaitu majas yang membandingkan dua hal secara implisit yakni dengan tanpa menggunakan kata-kata pembanding (seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, serupa, dan lain sebagainya). Sehingga metafora lebih terkesan menohok ketimbang simile.


Contoh Majas Metafora

Nani jinak-jinak merpati
Ali mata keranjang
Mereka ditimpa celaka
Aku terus memburu untung
Perpustakaan gudang ilmu
Koran sumber informasi
Mina buah hati Edi
Dia anak emans pamanku
Pendidikan soko guru pembangunan
Kata adalah pedang tajam


Contoh metafora dalam sebuah kalimat

Kapten kesebelasan itu mendapat kartu merah.
Gadis itu menjadi buah bibir orang kampung.
Kemarin dia menerima surat kertas hijau dari pacarnya.
Pendidikan jelas memelekkan mata hati ke arah kemajuan.
Saya adalah tumpuan harapan keluarga saya.
Dengan hasil panen itu, kami merasa mendapat durian runtuh.
Kasihan mereka, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Pak Ogah lintah darat, jangan bergaul dengan dia.
Tak ada gunanaya berdebat dengan orang yang berkepala batu.
Aminah kembang desa kami.
Anak adalah buah hati orang tua.
Pemuda adalah bungan bangsa.
Saya menerima cindera mata dari teman sekelas.
Orang itu benar-benar buaya darat.
Pedagang itu sungguh-sungguh ular berkepala dua.
Rakyat adalah tiang negara.
Gerak geriknya menarik hati.
Kata-katanya mendinginkan kepala.
Fitnahnya menaikkan darah kami.
Pendidikan jalan menuju kemajuan.

Senin, 07 November 2016

Pengertian Majas Personifikasi Beserta Contohnya

Pengertian Personifikasi
Personifikasi berasal dari bahasa Latin persona (‘orang, pelaku, aktor, atau topeng yang dipakai dalam drama’) + fic (‘membuat’).

Personifikasi ialah jenis majas yang melekatan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak (Tarigan, 2009: 17)

Personifikasi yaitu kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia (Pradopo, 2012: 75)

Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (Keraf, 2010: 140)

Jadi personifikasi ialah jenis majas yang mempersamakan benda mati atau pun mahluk selain manusia (binatang) seolah-olah bersifat seperti manusia.

Contoh Majas Personifikasi
Berikut ini adalah contoh majas personifikasi.

Malas dan malu nyala pelita (Anak Molek V: Rustam Effendi)

Sepi menyanyi, malam dalam medoa tiba (Sajak Putih: Chairil Anwar)

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini (Sebuah Kamar: Chairil Anwar)

Puntung rokok dan kursi bercakap tentang seorang yang tiba-tiba menghela nafas panjang lalu berdiri (Percakapan dalam Kamar: Sapardi JD)

Contoh lainnya:

angin yang meraung 

matahari baru saja kembali ke peraduannya

hujan memandikan tanaman

mentari mencubit wajahku

pepohonan tersenyum riang

tugas menantikan kita

kucingmu merindukan elusanmu

margasatwa berpestaria

murai bernyanyi menanti mentari

bunga mawar menjaga diri dengan duri

pengalaman mengajak kita tahan menderita

pintu pun menjerit saat dibuka

dinding-dinding membisu

mentari menjilat kamar tidurku

burung-burung bernyanyi

pohon-pohon menari

ombak mengecup pantai

sunyi yang melukai hati

senyuman yang menggoda

tatapan yang menusuk

Kamis, 03 November 2016

Menemukan Tema, Latar, dan Penokohan dalam Cerpen “Demi Bu Camat” karya Yusrizal KW

Tema, latar, dan penokohan merupakan bagian dari unsur intrinsik cerpen. Unsur intrinsik cerpen adalah unsur yang membangun karya sastra (cerpen) dari dalam. 

Lihat pembahasan:
Memahami Unsur-Unsur Cerpen
Sajian berikut ini akan membahas bagaiamana tema, latar, dan penokohan dalam kutipan cerpen "Demi Bu Camat". Cerpen tersebut dikutip dari buku kumpulan cerpen "Kembali ke Pangkal Jalan" karya Yusrzal KW.

Selain membahas mengenai tema, latar dan penokohan dalam cerpen, akan dibahas pula tentang nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalam cerpen " Demi Bu Camat" tersebut.

Lihat juga:
Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur Cerpen 
Contoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9
Menemukan Tema, Latar, dan Karakter Tokoh Cerpen “Demi Bu Camat”

Bacalah kutipan cerpen “Demi Bu Camat” berikut!

Demi Bu Camat

Angin malam membentur letih di dinding rumah kayu Leman. Leman masih berbaring gelisah di samping istrinya, Salina yang tengah hamil Sembilan bulan. Menunggu lahir anak pertama setelah menanti lima tahun, adalah suatu yang menggelisahkan bagi Leman.

Yang menjadi pikiran Leman saat ini, mencarikan biaya bersalin istrinya ke bidan. Mendengar cerita Lelo di kedai Mak Uncang kemarin soal biaya melahirkan di bidan, cukup membuat hati Leman tak nyaman. Lumayan mahal.

Apalagi, untuk persediaan selimut bayi dan popok saja istrinya masih menuntut kepadanya berkali-kali. Atau, ia mesti merasa menahan segan ketika empat hari lewat adik iparnya datang meminjamkan popok dan baju bekas anaknya yang kini sudah berusia tiga tahun.

"Seharusnya kita malu menerima pinjaman popok itu," kata Salina kemarin, menjelang ia pergi ke sawah di mana tempat ia menjadi petani upahan. Sehari, ia cuma bisa terima Rp3000. Dengan gaji harian yang tak mungkin setiap hari ia bisa peroleh itulah Leman mendayung kelajuan biduk rumah tangganya.

Salina memiringkan badannya ke arah Leman. Leman menikmati pejaman mata istrinya yang lelah, serta perutnya yang membalon itu. Pelan-pelan Leman meraih beberapa jumput rambut istrinya, lalu menggenggamnya lambat-lambat.

"Maafkan aku, Ilin," gumamnya menyebut nama kecil istrinya. Yah, Salina --Ilin-- bagi Leman tak lebih tumpuan kasih sayang yang setiap saat memberi semangat untuk memperjuangkan hidup. Walau di lain kadang ia pun mesti merasa sabar menerima umpatan istrinya karena kesulitan untuk melepaskan diri dari beban hidup yang setiap hari bagai mengejarnya dengan panah beracun. Malas sehari saja, berarti mempersiapkan kelaparan untuk esok hari.

Berkali-kali Leman berusaha untuk tidur nyenyak di samping istrinya, tapi selalu saja ia merasa gamang membayangkan hari-hari esok ditambah menanti kelahiran bayi pertama serta biayanya yang lumayan sulit jika ia carikan mendadak.

Seketika, bayangan seorang wanita hampir setengah baya melintasi ingatannya. Bu Camat. Ya, ia ingat istri camat yang baru dan cukup baik terhadapnya sejak Kecamatan Ciakayam diduduki oleh petinggi baru. Sebenarnya bukan Bu Camat itu yang baik hati, melainkan Lemanlah yang betul-betul baik hati pada istri Camat yang dipanggilnya Bu Ca.

Hampir setiap punya kesempatan, kalau tidak pagi ya sore, ia berusaha singgah ke rumah Pak Camat itu, kalau-kalau ada yang diperlukan bantuannya oleh Bu Camat. Misalnya, seperti yang sudah-sudah, membuatkan pot bunga atau membereskan taman rumah Bu Camat yang setiap hari selalu diseraki daun-daun rambutan kering yang tumbuh besar di sekitar itu. Atau lagi, menolong membersih kan kakus dan menimbakan bak mandi Bu Camat yang kebetulan orang upahannya tak datang. Juga, kadang-kadang Leman menaiki atap rumah Bu Camat dan menambal bagian yang bocor dengan aluminium yang dipanaskan di nyala api.

Semua pertolongan itu dilakukan Leman pada akhirnya dengan sikap tanpa pamrih. Sebenarnya, sekali-kali ia juga pingin dipamrihi dengan sedikit uang. Hal itu, yah, ternyata harus disesalinya. Bahkan ia pernah sempat memaki-maki dirinya lantaran suatu ketika dulu, pas pertama membantu Bu Camat mengangkat perabot rumahnya dari rumah yang lama ke rumah yang sekarang ini, Leman pernah menolak dikasih uang. Alasannya ia tulus membantu.

"Kalau Bu Ca memberi saya uang untuk pertolongan saya yang sederhana ini, berarti saya menjadi sungkan menolong Ibu setelah ini. Saya membantu tulus lho, Bu Ca," begitu kata Leman.

Ternyata, ucapan Leman itu dipegang Bu Camat. Setiap pertolongan Leman, baik diminta maupun tidak, Bu Camat cukup mengucapkan terima kasih. Sehingga, hubungan Bu Camat dengan petani upahan seperti Leman di kampung kecamatan itu dikenal baik. Bahkan Leman sempat jadi bahan pembicaraan orang kampung, bahwa ia orang dekat dengan Bu Camat, juga Pak Camat.

Hubungan baik Leman dengan Bu Camat ini, oleh sebagian orang bisa dimanfaatkan. Salah satunya Leman diminta kesediaannya membantu menguruskan KTP, biar sedikit lancar dan biayanya pun bisa renda han sedikit. Untuk sedikit hal, harga diri Leman terangkat. Leman disegani.

Tapi, pikir Leman kemudian, apakah cukup sampai berhubungan baik dengan Pak Camat dan istrinya serta dikenal orang yang punya gengsi yang tinggi seranting dibanding kawan-kawan lainnya? Leman mendadak menggeleng. Justru yang ia perlukan saat ini tidak lagi keterpandangan di mata orang-orang atau ucapan tulus terima kasih wanita yang dipanggilnya Bu Ca.

Leman meyakini, ia perlu uang. Ia perlu pamrih untuk sedikit dari sekian banyak pertolongannya yang diberikan pada Bu Ca. Kadang dalam hati Leman mengumpat, kenapa di lain kadang Bu Ca tak pernah sekali pun menawarkan ia uang. Apakah lantaran basa-basin ya pertama dulu. Atau memang Bu Ca pelit.

Leman merangkulkan tangannya ke tubuh istrinya. Ia ingat Bu Camat, ia pun punya niat untuk mendatangi Bu Camat esok hari guna memberikan gambaran, bahwa ia butuh uang banyak untuk menebus biaya kelahiran anaknya yang sedikit hari lagi. Ia, bagaimanapun, tak ingin gagal jadi suami, jadi ayah, jadi laki-laki yang ber tanggung jawab membahagiakan istrinya Salina.



Tema, latar, dan penokohan  kutipan cerpen “Demi Bu Camat”

1. Tema
tema kutipan cerpen “Demi Bu Camat” yaitu kesulitan ekonomi. Kesulitan ekonomi dialami Leman. Leman kesulitan uang untuk biaya bersalin istrinya.
Bukti:
a. Yang menjadi pikiran Leman saat ini, mencarikan biaya bersalin isterinya ke bidan.
b. Dengan gaji harian yang tak mungkin setiap  hari ia peroleh itulah Leman mendayung kelajuan biduk rumah tangganya.

2. Latar 
a. Latar tempat
Latar tempat disebutkan, tetapi berada di berbagai lokasi antara rumah Bu Camat, rumah Leman. Akan tetapi, latar sebenarnya adalah rumah leman.
Bukti:
Angin malam membentur letih di dinding rumah kayu leman.
b. Latar waktu
Latar waktu lebih ditonjolkan malam hari. Akan tetapi, ada waktu yang disebutkan pada cerita pagi dan sore.
Bukti:
- Angin malam membentur letih di dinding rumah kayu leman.
- Berkali-kali Leman berusaha untuk tidur nyenyak di samping isterinya.
c. Latar sosial
Latar sosial menjelaskan keadaan hidup Leman yang memperihatikan. Akan tetap, ia harus basa-basi demi cari muka.
Bukti:
- Kadang ia pun mesti sabar menerima umpatan istrinya karena kesulitan untuk melepaskan diri dari beban hidup yang setiap hari bagai mengejarnya dengan panah beracun. Malas sehari saja, berarti mempersiapkan kelaparan untuk esok hari.
- “ ... Saya membantu tulus lho, Bu Ca," begitu kata Leman. Padahal itu basa-basi saja. Sekadar cari muka.

3. Penokohan
a. Leman: baik, bertanggung jawab
Bukti:
- Sebenarnya bukan Bu Camat yang baik hati, tetapi Leman lah yang betul-betul baik hati.
- Ia, bagaimana pun tak ingin gagal menjadi suami, jadi ayah, jadi laki-laki yang bertanggung jawab membahagiakan istrinya.

b. Salina: pemalu, penuntut
Bukti:
- seharusnya kita malu menerima popok itu, ...
- apalagi untuk persediaan perlengkapan bayi saja istrinya masih menuntut.

c. Bu Camat: menghargai orang
Bukti:
- ..... Bu Camat cukup mengucapkan terima kasih.


Nilai kehidupan yang terkandung dalam kutipan cerpen "Demi Bu Camat" 

Nilai kehidupan yang terkandung dalam kutipan cerpen "Demi Bu Camat" yaitu nilai sosial berupa ketulusan membantu orang lain.

Bukti: Semua pertolongan itu dilakuan Leman pada akhirnya dengan sikap tanpa pamrih. Sebenarnya sekali-kali ia juga pingin dipamrihi sedikit dengan uang. Hal itu, yah, ternyata harus disesalinya.